Jakarta, LANGSUNG – Bukti baru terkait kasus mega korupsi yang melibatkan bisnis produk timah terungkap dalam persidangan Senin, 7 Oktober 2024 di Pengadilan Tipikor Pusat (Tipikor) Jakarta. Terungkap, PT Refined Bangka Tin (RBT) mengajukan kerja sama dengan PT Timah Tbk terkait penyewaan alat peleburan.

Baca juga:

Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku belum mengetahui untuk tujuan apa dana tersebut akan dialokasikan kepada Gubernur Kalsel Sahbirin Noor.

Hal itu terungkap dari keterangan mantan Direktur PT Timah Tbk Mochtar Reza Pahlavi Tabrani di hadapan terdakwa Kepala Dinas ESDM (Cadiz) Provinsi Bangka Belitung, Amir Syahbana, Suranto Vibowo, dan Plt Kepala Dinas ESDM Babel. Rusbani.

Terdakwa kasus korupsi timah, Harvey Moise, sedang diadili

Baca juga:

Pernikahan tersebut berawal dari rasa cemburu dan berencana membunuh korbannya

Atas dalil tersebut, pengamat hukum Fajar Trio menilai majelis hakim memerintahkan jaksa memanggil pengusaha Robert Bonosusatya sebagai saksi dalam persidangan. Hal itu dilakukan karena jaksa belum menetapkan Robert sebagai tersangka, termasuk melakukan tindakan perampasan aset atau aset perampasan dalam kasus dugaan korupsi.

Fajar juga mendukung upaya MAKI untuk mengadili Wakil Jaksa Agung Pidana Khusus (Jampidsus Kejagung) karena gagal mengadili Robert Bonosusatya dalam kasus dugaan korupsi. Permohonan penghentian penyidikan kasus dugaan korupsi itu diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis, 3 Oktober 2024.

Baca juga:

Tersangka korupsi adalah kekayaan Gubernur Kalsel Sahbirin Noor.

“Saya mendukung upaya MAKI. Jaksa harus mengundang Robert Bonosusatya ke persidangan dan, jika ada cukup bukti, menetapkan tersangka berdasarkan keterangan saksi persidangan. Pastikan juga untuk mengikuti uang dari kejahatan yang dilakukan Harvey Moyes dan teman-temannya di RBT. Salah satunya dengan mempercepat undang-undang pemulihan aset agar pelaku kejahatan sekaligus semakin miskin, kata Fajar di Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2024.

Ia memperkirakan dugaan kerugian negara dalam kasus ini sangat fantastis hingga mencapai Rp 271 triliun. Kejaksaan, menurut dia, harus segera menyita seluruh aset para tersangka melalui perusahaan yang didirikan pelaku.

“Ini yang harus diungkapkan Jaksa Agung. Itu pasti palsu, kan? Termasuk aset-aset yang berada di luar negeri harus diupayakan. Bukan sekedar punya aset di Indonesia,” ujarnya.

Fajar yakin jika progresnya rampung, maka jumlah tersangka kasus korupsi berat ini akan bertambah. Ia memperkirakan, jika kasus ini diusut sesuai pasal Kementerian Umum, jumlah tersangka bisa 2 hingga 3 kali lipat dari jumlah yang tertera.

“Dan saya yakin masih banyak tersangka PT RBT yang masih buron bahkan berusaha menyembunyikan hasil kejahatannya. Dan untuk mendapatkan kredibilitas hukum, Kejaksaan harus menetapkan tersangka Robert Bonosusatya. ” dikatakan.

“Kalau diadili menggunakan TPPU, bisa jadi tersangkanya dua kali lebih banyak dari sekarang. “Bisa tiga kali lipat,” lanjutnya.

Padahal, lanjutnya, tak menutup kemungkinan uang hasil korupsi para tersangka dalam kasus ini sampai ke orang-orang terdekatnya, misalnya suami atau istri. Oleh karena itu, ke depan kasus ini harus dikaitkan dengan kemungkinan pasal TPPU. “Kita perlu memastikan istrinya menerima, menikmati, dan memberikan kontribusi dalam hidupnya dengan hasil kejahatan yang diterima suaminya,” ujarnya.

Sidang kasus korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta

Sebagai informasi, dalam sidang 7 Oktober 2024, Riza mengaku bertemu dengan perwakilan PT RBT Harvey Moise dan membahas tawaran kerja sama tersebut. Pertemuan baru kemudian dilakukan Harvey Mois dengan Direktur Operasional PT Timah Tbk Alvin Albar.

“Ada beberapa pertemuan, pertama kami mendapat surat penawaran dari RBT. Di Hotel Sofia, Tuan Harvey Moyes dan saya berbicara dengan santai. Kemudian pada pertemuan berikutnya saya mengundang Pak Alvin karena saya memintanya untuk berbicara tentang topik ini. . untuk belajar lebih banyak tentang kerja sama,” kata Reza.

Dalam kasus korupsi ekstrem ini, perusahaan pemilik pabrik metalurgi tersebut dianggap melakukan penambangan timah ilegal di kawasan IUP PT Timah di Bangka Belitung.

Mineral yang dibeli dari penambangan liar di wilayah IUP PT Timah kemudian dijual ke PT Timah oleh perusahaan pemilik smelter tersebut seolah-olah ada kolusi untuk menyewa peralatan smelter tersebut.

Adapun harga yang dipatok untuk menyewa peralatan ini mahal atau lebih tinggi dari harga pasar, yakni $3.700 per ton. Menurut jaksa, penetapan harga tersebut dilakukan tanpa studi kelayakan yang matang. Total ada lima perusahaan swasta metalurgi yang bekerjasama dengan PT Timah dalam penyewaan alat peleburan.

Halaman selanjutnya

“Ini yang harus diungkapkan Jaksa Agung. Itu pasti palsu, kan? Termasuk aset-aset yang berada di luar negeri harus diupayakan. Bukan sekedar punya aset di Indonesia,” ujarnya.

Halaman selanjutnya